A. PENGERTIAN STRESS
Stress adalah penyakit yang banyak menemani masyarakat modern jaman ini. Stress di dunia kerja, kuliah, hingga malasah kebutuhan hidup. Terkadang usaha untuk menghilangkan stress malah memunculkan stress yang baru. Cara-cara Tradisional hingga metode modern kita pakai agar terhindar dari stress. Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan stress sebagai segala sesuatu yang dipandang oleh seseorang sebagai sesuatu yang manantang, mengancam, atau menyakitkan (Lazarus & Folkman, dalam Wortman, 1999). Holmes dan Rahe mendefnisikan stress sebagai suatu keadaan dimana individu harus berubah dan menyesuaikan diri terhadap suatu peristiwa yang terjadi (Holmes & Rahe dalam Aronson, 2004). Papalia (2004) mendefinisikan stress sebagai respon terhadap tuntutan fisik ataupun psikologis. Penyebab stress sendiri dapat dibagi ke dalam tiga kelompok besar, yaitu bioekologis, psikososial, dan kepribadian. Bioekologis adalah stress yang muncul karena keadaan biologis seseorang yang dipengaruhi oleh tingkah laku-tingkah laku orang tersebut. Psikososial adalah stress yang muncul karena pengaruh keadaan lingkungan, dan kepribadian adalah stress yang muncul akibat kepribadian orang tersebut.
Ada Banyak Cara Menghilangkan Stress
1. Kenali dan identifikasi apa akar permasalahan dari penyebab stress itu.
Apakah karena sebuah tuntutan ataukah tekanan dari pihak lain ? Kalau stress itu berhubungan dengan sebuah tuntutan, maka secepat mungkin tanpa menunda waktu usahakan agar tuntutan itu segera kita selesaikan.
2. Berpikir Positif dan berdamai dengan diri sendiri. Pantulan Positif yang tercermin dari isi hati dan kepala kita diyakini akan mengurangi dan menghilangkan stress. Bersyukur dalam segala hal tentang apa yang sudah kita miliki adalah contoh usaha berdamai dengan diri sendiri.
3. Lakukan yang menjadi kesukaan kita.
Mungkin inilah cara yang paling efektif untuk menghilangkan stress. Menyalurkan emosi kepada hal2 yang kita sukai seperti Download MP3, jalan2 kepantai, wisata keluarga, ngeceng di Mall, main Game Online ataupun hal2 mengasyikkan lainnya akan meredakan tingkat stress yang kita alami.
Permasalahan memang tidak dapat kita hindari namun meminimalisasi permasalahan masih dapat kita usahakan agar terhindar dari Stress. Cara menghilangkan Stress diatas kiranya dapat membantu anda sekalian untuk dapat Survive didalam dunia yang semakin penuh dengan tekanan ini.
Sumber dan macam-macam stresor antara lain :
1. kondisi biologi
Berbagai penyakit infeksi , trauma fisik dengan kerusakan organ biologik,mal nutrisi, kelelahan fisik, kekacauan fungsi biologik yang kontinyu
2. Kondisi Psikologi
a. Berbagai konflik dan frustasi yang berhubungan dengan kehidupan moderen.
b. berbagai kondisi yang mengakibatkan sikap atau perasaan rendah diri (self devaluation ) seperti kegagalan mencapai sesuatu ynga sangt di idam-idamkan.
c. berbagai keadaan kehilangan seperti posisi, keuangan, kawan atau pasangan hidup yang sangat dicintai.
d. berbagai kondisi kekurangan yang dihayati sebagai sesuatu cacat yang sangat menentukan seperti penampilan fisik, jenis kelamin, usia, intelegensi dan lain-lain.
e. berbagai kondisi perasaan bersalah terutama yang menyakut kode moral etika yang dijunjung tinggi tetapi gagal dilaksanakan.
3. Kondisi Sosio Kultural.
Kehidupan moderen telah menempatkan manusia kedalam suatu kancah stress sosio kultural yang cukup berat. Perubahan sosio ekonomi dan sosio budaya yang datang secara cepat dan bertubi – tubi memerlukan suatu mekanisme pembelaan diri yang memadai. Stresor kehidupan moderen ini diantaranya. :
a. berbagai fluktuasi ekonomi dan segala akibatnya ( menciutnya anggaran rumah tangga , pengangguran dan lain-lain ).
b. Perceraian, keretakan rumah tangga akibat konflik ,kekecewaan dan sebagainya.
c. Persaingan yang keras dan tidak sehat.
d. Diskriminasi dan segala macam keterkaitannya akan membawa pengaruh yang menghambat perkembangan individu dan kelompok.
e. Perubahan sosil yang cepat apabila tiadak diimbangi dengan penyusuaian etika dan moral konvisional ynag memadai akan terasa ancaman. Dalam kondisi terburuk nilai materikalistik akan mendominasi nilai moral spiritual yang akan menimbulkan benturan konflik yang mungkin sebagian terungkap, sedangkan sebagian lainnya menjadi beban perasaan individu atau kelompok..
Stres memiliki dua gejala, yaitu gejala fisik dan psikis:
a. Gejala Fisik
Gejala stres secara fisik dapat berupa jantung berdebar, napas cepat dan memburu / terengah – engah, mulut kering, lutut gemetar, suara menjadi serak, perut melilit, nyeri kepala seperti diikat, berkeringat banyak, tangan lembab, letih yang tak beralasan, merasa gerah, panas , otot tegang.
b. Gejala Psikis
Keadaan stres dapat membuat orang – orang yang mengalaminya merasa gejala – gejala psikoneurosa, seperti cemas, resah, gelisah, sedih, depresi, curiga, fobia, bingung, salah faham, agresi, labil, jengkel, marah, lekas panik, cermat secara berlebihan.
B. KAITAN STRESS DENGAN PSIKOLOGI LINGKUNGAN APAKAH STRESS MEMPENGARUHI INDIVIDU DAN BAGAIMANA HAL ITU BISA TERJADI
Dalam konteks lingkungan stress dapat muncul jika lingkungan fisik dan rancangan secara langsung atau tidak langsung menghambat tujuan seseorang. Kaitan stress dengan lingkungan yaitu stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang mengancam yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya. Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapat dan seterusnya. Maka apabila lingkungan tidak mendukung kesejahteraan fisik maupun mental seseorang akan mengakibatkan kelelahan fisik dan mental yang mencetuskan terjadinya stres.
Stres menurut Stokols (dalam Brigham, 1991) merupakan salah satu aspek yang dapat mengakibatkan penyakit atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat. Stres yang dialami individu dapat memberikan dampak yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menghadapi stres. Individu yang mengalami stres umumnya tidak dapat melakukan interaksi sodial dengan baik, sehingga dapat menurunkan perilaku untuk membantu orang lain.
Secara Ringkas, Sumber Stress dapat diuraikan Sebagai Berikut:
1. Sumber Stress Adalah Keinginan
Manusia hidup pasti tidak akan pernah terlepas dari keinginan. Memiliki keinginan adalah wajar sejauh kita tidak menjadi budak keinginan kita sendiri. Oleh karena itu, keinginan dapat menjadi salah satu sumber stress. Stress dapat timbul bila orang bersikap terlalu kaku pada keinginannya sendiri tanpa memiliki kesadaran bahwa kadang orang harus menyesuaikan diri antara keinginan dengan kenyataan yang dihadapi. Dengan kata lain, orang sering tidak siap dan tidak berkeinginan menghadapi perubahan.Padahal, setiap saat dan di setiap tempat ada kemungkinan orang akan mengalami perubahan. Perubahan dalam hidup ini dapat merupakan perubahan ke arah yang menggembirakan ataupun sebaliknya. Menghadapi perubahan yang menggembirakan, orang tidak akan mempermasalahkan seperti bila sedang menghadapai perubahan yang tidak menyenangkan. Dalam masalah ini, perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang membuat orang tidak bahagia karena tidak sesuai dengan keinginannya. Perubahan dapat dirasakan mengarah pada hal yang tidak membahagiakan karena disebabkan oleh niat orang untuk tidak ingin berkumpul dengan yang tidak disenangi dan berpisah dengan yang dicinta. Perubahan ini terjadi dalam bentuk yang seluas-luasnya, misalnya dalam hubungan dengan sesama manusia, dengan benda maupun dengan suasana serta masih banyak yang lainnya. Stress muncul karena orang tidak ingin melihat perubahan ke arah yang tidak menggembirakan itu terwujud sebagai kenyataan. Orang bahkan ingin memaksakan kenyataan seperti keinginannya. Tentunya hal ini tidaklah mungkin dapat terjadi.
Pada dasarnya terdapat dua macam keinginan yang dominan dalam kehidupan ini yaitu ingin selalu bersama dengan hal-hal atau kondisi yang menyenangkan dan yang lainnya adalah ingin tidak pernah menjumpai hal-hal atau kondisi yang tidak menyenangkan. Tentu saja bila kedua macam keinginan ini dapat terpenuhi maka bahagialah kehidupan orang tersebut. Namun, karena hidup selalu berubah maka orang kadang, kalau tidak dapat dibilang sering, mengalami kekecewaan. Bila kekecewaan ini bertambah banyak kuantitas maupun kualitasnya maka stress dan akibat-akibat negatif lainnya akan muncul.
2. Keinginan dapat Dikendalikan
Apabila sumber stress diketahui maka sesungguhnya jalan untuk mengatasinya telah terjawab setengahnya. Telah disadari bahwa keinginan yang tidak fleksibel justru akan menjerumuskan seseorang ke dalam jurang stress. Semakin kukuh keinginan seseorang, semakin besar pula kemungkinan stress yang akan dihadapinya. Untuk itulah, orang perlu memiliki wawasan berfikir bahwa dalam hidup ini sering keinginan tidak dapat menjadi kenyataan sedangkan kenyataan tidak jarang amat berbeda dari keinginan yang dimiliki. Wawasan ini berguna untuk melunakkan keinginan sehingga akhirnya dapat diubah dan disesuaikan dengan kenyataan. Bila keinginan telah sesuai dengan kenyataan maka stress pun akan dapat dihalau jauh-jauh dari hidup ini.
Salah satu contoh pengaruh stres terhadap perilaku individu dalam lingkungan yaitu kepadatan yang tinggi dipandang sebagai keadaan fisik yang membuat keadaan tidak menyenangkan, seperti kehilangan kontrol dan kehilangan kebebasan berperilaku serta menurunnya intens prososial individu. Hal ini dapat dijelaskan oleh teori stimulus overload dari Milgram (dalam Wrightsman & Deaux, 1984), dalam teori ini menjelaskan bahwa kondisi yang padat yang dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor seperti factor perbedaan individu, situasi dan kondisi sosial di kota mengakibatkan individu mengalami stimulus overload (stimulus berlebihan) sehingga individu hnya melakukan adaptasi dengan cara memilih stimulus yang akan diterima dan member sedikit perhatian pada stimulus yang masuk. Hal ini dilakukan dengan menarik diri atau mengurangi kontak dengan orang lain, yang akhirnya dapat mempengaruhi perilaku menolong pada individu.
Minggu, 15 Mei 2011
Senin, 25 April 2011
PRIVASI,RUANG PERSONAL (SPACE) DAN TERITORIALITAS PADA LINGKUNGAN DAN HUBUNGAN ANTARA KETIGANYA
A. PENGERTIAN PRIVASI
Privasi adalah tingkat interaksi atau keterbukaan yang dihendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkat privasi yang di inginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai orang lain. Tetapi ada juga privasi tergantung dari pola-pola perilaku dalam konteks budaya dan dalam kepribadian individu.
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi privasi :
• Factor personal
• Factor situasional
• Factor budaya
1. Factor personal. Marshall (1987), mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, di temukan bahwa anak-anak tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonym dan reserve saat ia dewasa.
2. Faktor situasional adalah beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengizinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987)
3. Faktor budaya adalah Penemuan dari beberapa peneliti, tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987)
PENGARUH PRIVASI TERHADAP PERILAKU
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mecatat bahwa pengelolahan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan. Sedangkan Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang “sulit”. Sementara hal yang senada diungkapkan oleh westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari dan kita juga dapat melakukan evaluasi diri serta membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri. Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.
B. RUANG PERSONAL ( SPACE)
1. Pengertian Ruang Personal
Ruang pribadi adalah kawasan sekitarnya seseorang yang mereka anggap sebagai psikologis mereka. Gagasan ruang pribadi berasal dari Edward T. Hall , ide-ide yang dipengaruhi oleh Heini Hediger studi dari perilaku hewan kebun binatang.
Ruang pribadi itu sebuah tempat yang nggak terbatas oleh bentuk fisik . ruang pribadi adalah tempat untuk kita menjadi diri kita sendiri. Melakukan sesuatu yang menjadi passion kita. Keinginan yang terpendam, yang sangat bernafsu untuk kita wujudkan dan kerjakan. Tanpa di batasi oleh peraturan, orang lain, bahkan diri kita sendiri. Tempat untuk bebas berekspresi menjadi diri kita sesungguhnya. Lebih jauh lagi ruang pribadi itu adalah “tempat kita melepaskan topeng kita”.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita berbicara dengan orang lain, kita membuat jarak terhadap orang yang kita ajak bicara, jarak ini sangat bergantung pada bagaimana sikap dan persepsi kita terhadap orang tersebut. Persepsi ruang inilah yang disebut oleh J.D. Fisher sebagai personal space. Personal space didefinisikan sebagai suatu batas maya yang mengelilingi kita yang dirasakan sebagai wilayah pribadi kita dan tidak boleh dilalui oleh orang lain.
Jika dianalogikan, Personal space ini seperti layaknya sebuah tabung yang memiliki lapisan-lapisan. Lapisan-lapisan ini adalah ruang-ruang tak terlihat dimana kita merasa aman terhadap lawan bicara kita. Pelanggaran terhadap jarak ini dapat membuat sang “korban" merasa tidak nyaman, kesal, cemas, atau bahkan mungkin marah. Menurut E.T. Hall ada 4 lapisan personal space:
a. Jarak intim: (0-0.5m) jarak ini adalah jarak dimana kita hanya mengizinkan orang-orang yang terasa sangat dekat dengan kita untuk berada didalamnya. Biasanya kekasih/pasangan, orang tua, kakak/adik, dan sahabat dekat dapat memasukinya tanpa menimbulkan rasa risih.
b. Jarak personal: (0.5-1.3m) jarak ideal untuk percakapan antara 2 orang teman atau antar orang yang sudah saling akrab.
c. Jarak sosial: (1.3-4m) jarak yang biasa kita buat untuk hubungan yang bersifat formal, seperti: bisnis, pembicaraan dengan orang yang baru kita kenal, dsb.
d. Jarak publik: (4-8m) jarak untuk hubungan yang lebih formal seperti penceramah dengan hadirinnya. Paspampresnya amerika biasanya membuat ruang kosong selebar +/- 4m untuk menjaga pejabat penting.
2. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Ruang pribadi adalah sangat bervariasi. Mereka tinggal di tempat-tempat padat penduduk cenderung memiliki ruang pribadi yang lebih kecil. Warga India cenderung memiliki ruang pribadi lebih kecil daripada di Mongolia padang rumput , baik dalam hal rumah dan individu . Untuk contoh yang lebih rinci, lihat hubungi Tubuh dan ruang pribadi di Amerika Serikat.
Ruang pribadi telah berubah historis bersama dengan batas-batas publik dan swasta dalam budaya Eropa sejak Kekaisaran Romawi. Topik ini telah dieksplorasi dalam A History of Private Life, di bawah redaktur umum Philippe Aries dan Georges Duby , diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Belknap Press.
Ruang pribadi adalah juga dipengaruhi oleh posisi seseorang dalam masyarakat dengan individu-individu kaya lebih menuntut ruang pribadi yang lebih besar. Orang membuat pengecualian terhadap, dan memodifikasi kebutuhan ruang mereka. Sejumlah hubungan dapat memungkinkan untuk ruang pribadi untuk dimodifikasi dan ini termasuk hubungan keluarga, mitra romantis, persahabatan dan kenalan dekat di mana tingkat yang lebih besar kepercayaan dan pengetahuan seseorang memungkinkan ruang pribadi untuk dimodifikasi.
C. TERITORIALITAS
Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkap bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya / area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.
Menurut Sommer dan de War perbedaan ruang personal dengan teritorialitas adalah ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi dan tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain. Sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah dengan batasan-batasan yang nyata.
1. Karakter dasar dari suatu teritori yaitu
1. Kepemilikan dan tatanan tempat.
2. Personalisasi atau penandaan wilayah.
3. Taturan atau tatanan untuk mempertahankan terhadap gangguan
4. Kemampuan berfungsi yang meliputi jangkauan kebutuhan fisik dasar, psikologis, sampai kepuasan kognitif dan kebutuhan estetika.
D. Hubungan antara privasi, ruang personal dan teritorialitas dengan lingkungan.
Berdasarkan penjelasan mengenai Privasi, Teknik Teritorialitas, dan Ruang Personal diatas tentunya pasti sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan. Dimana ketiga hal tersebut sangat mempengaruhi lingkungan ditinjau dari faktor-faktor yang menyebabkan, ataupun isi dari penjelasan tersebut.
Berikut akan dijelaskan tentang Privasi ternyata berpengaruh terhadap situasi lingkungan , dimana ketika ada seseorang yang memiliki tingkat privasi yang tinggi terhadap masalah yang sedang ia alami maka, orang tersebut cenderung ingin memisahkan diri dari lingkungannya dan cenderung, mencari tempat dimana ia bisa menyendiri. Tentunya lingkungan sekitarnya pun akan mengalami perubahan, perubahan terjadi yang paling mencolok adalah keluarganya. Keluarga pasti bertanya-tanya dengan masalah apa yang sedang dialami, tetapi ia tertutup dengan masalahnya. Lain halnya dengan seseorang yang memiliki privasi yang rendah terhadap masalah yang ia alami maka, orang tersebut cenderung mau berbagi terhadap orang dekatnya, baik keluarga ataupun teman-temannya, sehingga lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanannya tau keadaan orang tersebut. Tapi, privasi yang tinggi dan rendah memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing dalam penilaian hubungannya dengan lingkungan. Biasanya kita tidak terlalu menyukai orang-orang yang terlalu terbuka atau tertutup dalam kehidupan sehari-hari, tapi kita lebih menyenangi orang yang dapat mengimbangi antara keterbukaan dan ketertutupan dalam menghadapi masalah, sehingga ia dapat mengatur privasinya dalam berinteraksi di dalam lingkungan masyarakat.
Hubungan antara Teknik Teritorial dengan lingkungan dimana territorial terbagi atas 3 bagian : territorial primer, sekunder, dan umum. Primer contohnya adalah ruang kerja, ruang tidur, dimana jika seseorang memiliki ruang kerja yang tidak teratur, maka juga dapat mengakibatkan ketidaknyamanan di lingkungan sekitarnya walaupun tingkat ketidaknyamanannya tidak terlalu tinggi, territorial sekunder contohnya, toilet yang sifatnya semi public dimana daerah tersebut sering dikunjungi oleh banyak orang apabila keadaan toilet tidak bersih, juga akan mengakibatkan lingkungan masyarakat merasa tidak nyaman. Territorial umum contohnya adalah antrian karcis yang jika tidak antri atau tidak menaati tata tertib pembelian karcis maka, akan mengakibatkan perselisihan yang dapat menimbulkan lingkungan masyarakat terganggu.
Hubungan antara Ruang Personal dengan lingkungan adalah dimana ruang personal ini berkaitan dengan batas-batas yang ada di sekeliling orang dimana jika batas ini terganggu atau ada ketidaknyaman dalam diri seseorang akan mengakibatkan lingkungan yang berada di sekitarnya pasti terganggu. Contohnya : seseorang yang masuk ke dalam bus tapi, mengganggu penumpang lain tentunya akan mengakibatkan, penumpang lainnya terganggu.
Dari penjabaran di atas tentunya dapat disimpulkan bahwa privasi, teknik territorial, dan ruang personal sangat erat kaitannya dengan lingkungan sekitar, dan dapat pula menyebabkan ketidakyamanan jika tidak digunakan dengan baik.
Privasi adalah tingkat interaksi atau keterbukaan yang dihendaki seseorang pada suatu kondisi atau situasi tertentu. Tingkat privasi yang di inginkan itu menyangkut keterbukaan atau ketertutupan, yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya sukar dicapai orang lain. Tetapi ada juga privasi tergantung dari pola-pola perilaku dalam konteks budaya dan dalam kepribadian individu.
Ada beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi privasi :
• Factor personal
• Factor situasional
• Factor budaya
1. Factor personal. Marshall (1987), mengatakan bahwa perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Dalam penelitiannya, di temukan bahwa anak-anak tumbuh dalam suasana rumah yang sesak akan lebih memilih keadaan yang anonym dan reserve saat ia dewasa.
2. Faktor situasional adalah beberapa hasil penelitian tentang privasi dalam dunia kerja, secara umum menyimpulkan bahwa kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar lingkungan mengizinkan orang-orang di dalamnya untuk menyendiri (Gifford, 1987)
3. Faktor budaya adalah Penemuan dari beberapa peneliti, tentang privasi dalam berbagai budaya (seperti Patterson dan Chiswick pada suku Iban di Kalimantan, Yoors pada orang Gypsy dan Geertz pada orang Jawa dan Bali) memandang bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diinginkan, tetapi sangat berbeda dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi (Gifford, 1987)
PENGARUH PRIVASI TERHADAP PERILAKU
Maxine Wolfe dan kawan-kawan (dalam Holahan, 1982) mecatat bahwa pengelolahan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalaman tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya, orang yang terganggu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakkan. Sedangkan Schwartz (dalam Holahan, 1982) menemukan bahwa kemampuan untuk menarik diri ke dalam privasi (privasi tinggi) dapat membantu membuat hidup ini lebih mengenakkan saat harus berurusan dengan orang-orang yang “sulit”. Sementara hal yang senada diungkapkan oleh westin bahwa saat-saat kita mendapatkan privasi seperti yang kita inginkan, kita dapat melakukan pelepasan emosi dari akumulasi tekanan hidup sehari-hari dan kita juga dapat melakukan evaluasi diri serta membantu kita mengembangkan dan mengelola perasaan otonomi diri. Otonomi ini meliputi perasaan bebas, kesadaran memilih dan kemerdekaan dari pengaruh orang lain.
B. RUANG PERSONAL ( SPACE)
1. Pengertian Ruang Personal
Ruang pribadi adalah kawasan sekitarnya seseorang yang mereka anggap sebagai psikologis mereka. Gagasan ruang pribadi berasal dari Edward T. Hall , ide-ide yang dipengaruhi oleh Heini Hediger studi dari perilaku hewan kebun binatang.
Ruang pribadi itu sebuah tempat yang nggak terbatas oleh bentuk fisik . ruang pribadi adalah tempat untuk kita menjadi diri kita sendiri. Melakukan sesuatu yang menjadi passion kita. Keinginan yang terpendam, yang sangat bernafsu untuk kita wujudkan dan kerjakan. Tanpa di batasi oleh peraturan, orang lain, bahkan diri kita sendiri. Tempat untuk bebas berekspresi menjadi diri kita sesungguhnya. Lebih jauh lagi ruang pribadi itu adalah “tempat kita melepaskan topeng kita”.
Dalam kehidupan sehari-hari, ketika kita berbicara dengan orang lain, kita membuat jarak terhadap orang yang kita ajak bicara, jarak ini sangat bergantung pada bagaimana sikap dan persepsi kita terhadap orang tersebut. Persepsi ruang inilah yang disebut oleh J.D. Fisher sebagai personal space. Personal space didefinisikan sebagai suatu batas maya yang mengelilingi kita yang dirasakan sebagai wilayah pribadi kita dan tidak boleh dilalui oleh orang lain.
Jika dianalogikan, Personal space ini seperti layaknya sebuah tabung yang memiliki lapisan-lapisan. Lapisan-lapisan ini adalah ruang-ruang tak terlihat dimana kita merasa aman terhadap lawan bicara kita. Pelanggaran terhadap jarak ini dapat membuat sang “korban" merasa tidak nyaman, kesal, cemas, atau bahkan mungkin marah. Menurut E.T. Hall ada 4 lapisan personal space:
a. Jarak intim: (0-0.5m) jarak ini adalah jarak dimana kita hanya mengizinkan orang-orang yang terasa sangat dekat dengan kita untuk berada didalamnya. Biasanya kekasih/pasangan, orang tua, kakak/adik, dan sahabat dekat dapat memasukinya tanpa menimbulkan rasa risih.
b. Jarak personal: (0.5-1.3m) jarak ideal untuk percakapan antara 2 orang teman atau antar orang yang sudah saling akrab.
c. Jarak sosial: (1.3-4m) jarak yang biasa kita buat untuk hubungan yang bersifat formal, seperti: bisnis, pembicaraan dengan orang yang baru kita kenal, dsb.
d. Jarak publik: (4-8m) jarak untuk hubungan yang lebih formal seperti penceramah dengan hadirinnya. Paspampresnya amerika biasanya membuat ruang kosong selebar +/- 4m untuk menjaga pejabat penting.
2. Ruang Personal dan Perbedaan Budaya
Ruang pribadi adalah sangat bervariasi. Mereka tinggal di tempat-tempat padat penduduk cenderung memiliki ruang pribadi yang lebih kecil. Warga India cenderung memiliki ruang pribadi lebih kecil daripada di Mongolia padang rumput , baik dalam hal rumah dan individu . Untuk contoh yang lebih rinci, lihat hubungi Tubuh dan ruang pribadi di Amerika Serikat.
Ruang pribadi telah berubah historis bersama dengan batas-batas publik dan swasta dalam budaya Eropa sejak Kekaisaran Romawi. Topik ini telah dieksplorasi dalam A History of Private Life, di bawah redaktur umum Philippe Aries dan Georges Duby , diterbitkan dalam bahasa Inggris oleh Belknap Press.
Ruang pribadi adalah juga dipengaruhi oleh posisi seseorang dalam masyarakat dengan individu-individu kaya lebih menuntut ruang pribadi yang lebih besar. Orang membuat pengecualian terhadap, dan memodifikasi kebutuhan ruang mereka. Sejumlah hubungan dapat memungkinkan untuk ruang pribadi untuk dimodifikasi dan ini termasuk hubungan keluarga, mitra romantis, persahabatan dan kenalan dekat di mana tingkat yang lebih besar kepercayaan dan pengetahuan seseorang memungkinkan ruang pribadi untuk dimodifikasi.
C. TERITORIALITAS
Holahan (dalam Iskandar, 1990), mengungkap bahwa teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya / area yang sering melibatkan ciri pemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain.
Menurut Sommer dan de War perbedaan ruang personal dengan teritorialitas adalah ruang personal dibawa kemanapun seseorang pergi dan tidak memperlihatkan dengan jelas kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain. Sedangkan teritori memiliki implikasi tertentu yang secara geografis merupakan daerah yang tidak berubah-ubah dengan batasan-batasan yang nyata.
1. Karakter dasar dari suatu teritori yaitu
1. Kepemilikan dan tatanan tempat.
2. Personalisasi atau penandaan wilayah.
3. Taturan atau tatanan untuk mempertahankan terhadap gangguan
4. Kemampuan berfungsi yang meliputi jangkauan kebutuhan fisik dasar, psikologis, sampai kepuasan kognitif dan kebutuhan estetika.
D. Hubungan antara privasi, ruang personal dan teritorialitas dengan lingkungan.
Berdasarkan penjelasan mengenai Privasi, Teknik Teritorialitas, dan Ruang Personal diatas tentunya pasti sangat erat hubungannya dengan keadaan lingkungan. Dimana ketiga hal tersebut sangat mempengaruhi lingkungan ditinjau dari faktor-faktor yang menyebabkan, ataupun isi dari penjelasan tersebut.
Berikut akan dijelaskan tentang Privasi ternyata berpengaruh terhadap situasi lingkungan , dimana ketika ada seseorang yang memiliki tingkat privasi yang tinggi terhadap masalah yang sedang ia alami maka, orang tersebut cenderung ingin memisahkan diri dari lingkungannya dan cenderung, mencari tempat dimana ia bisa menyendiri. Tentunya lingkungan sekitarnya pun akan mengalami perubahan, perubahan terjadi yang paling mencolok adalah keluarganya. Keluarga pasti bertanya-tanya dengan masalah apa yang sedang dialami, tetapi ia tertutup dengan masalahnya. Lain halnya dengan seseorang yang memiliki privasi yang rendah terhadap masalah yang ia alami maka, orang tersebut cenderung mau berbagi terhadap orang dekatnya, baik keluarga ataupun teman-temannya, sehingga lingkungan keluarga dan lingkungan pertemanannya tau keadaan orang tersebut. Tapi, privasi yang tinggi dan rendah memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing dalam penilaian hubungannya dengan lingkungan. Biasanya kita tidak terlalu menyukai orang-orang yang terlalu terbuka atau tertutup dalam kehidupan sehari-hari, tapi kita lebih menyenangi orang yang dapat mengimbangi antara keterbukaan dan ketertutupan dalam menghadapi masalah, sehingga ia dapat mengatur privasinya dalam berinteraksi di dalam lingkungan masyarakat.
Hubungan antara Teknik Teritorial dengan lingkungan dimana territorial terbagi atas 3 bagian : territorial primer, sekunder, dan umum. Primer contohnya adalah ruang kerja, ruang tidur, dimana jika seseorang memiliki ruang kerja yang tidak teratur, maka juga dapat mengakibatkan ketidaknyamanan di lingkungan sekitarnya walaupun tingkat ketidaknyamanannya tidak terlalu tinggi, territorial sekunder contohnya, toilet yang sifatnya semi public dimana daerah tersebut sering dikunjungi oleh banyak orang apabila keadaan toilet tidak bersih, juga akan mengakibatkan lingkungan masyarakat merasa tidak nyaman. Territorial umum contohnya adalah antrian karcis yang jika tidak antri atau tidak menaati tata tertib pembelian karcis maka, akan mengakibatkan perselisihan yang dapat menimbulkan lingkungan masyarakat terganggu.
Hubungan antara Ruang Personal dengan lingkungan adalah dimana ruang personal ini berkaitan dengan batas-batas yang ada di sekeliling orang dimana jika batas ini terganggu atau ada ketidaknyaman dalam diri seseorang akan mengakibatkan lingkungan yang berada di sekitarnya pasti terganggu. Contohnya : seseorang yang masuk ke dalam bus tapi, mengganggu penumpang lain tentunya akan mengakibatkan, penumpang lainnya terganggu.
Dari penjabaran di atas tentunya dapat disimpulkan bahwa privasi, teknik territorial, dan ruang personal sangat erat kaitannya dengan lingkungan sekitar, dan dapat pula menyebabkan ketidakyamanan jika tidak digunakan dengan baik.
Senin, 28 Maret 2011
kesesakan dan kepadatan lingkungan
A.Kepadatan
Menurut Taylor (dalam Gifford, 1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaharui sikap, perilaku, dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya.
Berikut adalah contoh kecil dari kepadatan lingkungan tersebut yang berdampak negativ bagi lingkungan :
a). Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stress (Jain, 1987) dan perubahan susana hati (Holahan, 1982).
b). Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan MacFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
c). Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan, 1982; Fisher dkk., 1984).
d). Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e). Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan MacFarling, 1987; Holahan.
B. KESESAKAN
Menurut Altman (1975) kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Kepadatan yang tinggi dapat menimbulkan lesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982). Namun Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa suatu keadaan dimana kepadatan bisa dikatakan sebagai kesesakan bila memiliki empat factor: Karakteristik seting fisik Karakteristik seting social, Karakteristik personal, Kemampuan beradaptasi.
Pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan, yaitu :
a. Faktor Personal, terdiri dari :
a) Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawa-kawan (dalam Worchel dan Coopere, 1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai control terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol pribadi di dalamnya.
Individu yang mempuyai locus of control internal yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinyalah yang berpengaruh terhadap kehidupannya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan yang lebih baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford, 1987).
b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Menurut Yusuf (1991) keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kesesakan justru akan menumbuhkan kreativitas-kreativitas manusia untuk melakukan intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut. Pada masyarakat Jepang, upaya untuk menekan situasi kesesakan adalah dengan membangun rumah yang ilustratif, yang dindingnya dapat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, serta untuk mensejajarkan keadaannya dengan ruang dan wilayah yang tersedia. Pola ini memiliki beberapa kegunaan sesuai dengan kebutuhan sosial penghuninya, seperti makan, tidur dan rekreasi. Volume dan konfigurasi tata ruang adalah fleksibel, sehingga dapat diubah-ubah sesaui kebutuhan dalam upayanya untuk menekan perasaan sesak.
b. Faktor Sosial
Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki. Akan tetapi pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah :
a) Kehadiran dan perilaku orang lain
b) Formasi koalisi
c) Kualitas hubungan
d) Informasi yang tersedia
c. Faktor fisik
Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.
Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polus, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting. Faktor situasional tersebut antara lain :
a) Besarnya skala lingkungan
b) Variasi arsitektur
Menurut Taylor (dalam Gifford, 1982) berpendapat bahwa lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaharui sikap, perilaku, dan keadaan internal individu di suatu tempat tinggal. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya.
Berikut adalah contoh kecil dari kepadatan lingkungan tersebut yang berdampak negativ bagi lingkungan :
a). Stress, kepadatan tinggi dapat menumbuhkan perasaan negatif, rasa cemas, stress (Jain, 1987) dan perubahan susana hati (Holahan, 1982).
b). Menarik diri, kepadatan tinggi menyebabkan individu cenderung untuk menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Heimstra dan MacFarling, 1978; Holahan, 1982; Gifford, 1987).
c). Perilaku menolong (perilaku prososial), kepadatan tinggi juga menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Holahan, 1982; Fisher dkk., 1984).
d). Kemampuan mengerjakan tugas, situasi padat menurunkan kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugasnya pada saat tertentu (Holahan, 1982).
e). Perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Heimstra dan MacFarling, 1987; Holahan.
B. KESESAKAN
Menurut Altman (1975) kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Kepadatan yang tinggi dapat menimbulkan lesesakan pada individu (Heimstra dan McFarling, 1978; Holahan, 1982). Namun Baum dan Paulus (1987) menerangkan bahwa suatu keadaan dimana kepadatan bisa dikatakan sebagai kesesakan bila memiliki empat factor: Karakteristik seting fisik Karakteristik seting social, Karakteristik personal, Kemampuan beradaptasi.
Pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.
1. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan, yaitu :
a. Faktor Personal, terdiri dari :
a) Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawa-kawan (dalam Worchel dan Coopere, 1983) mengatakan bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak mempunyai control terhadap lingkungan di sekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol pribadi di dalamnya.
Individu yang mempuyai locus of control internal yaitu kecenderungan individu untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinyalah yang berpengaruh terhadap kehidupannya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan yang lebih baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford, 1987).
b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Menurut Yusuf (1991) keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi yang menyebabkan kesesakan justru akan menumbuhkan kreativitas-kreativitas manusia untuk melakukan intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut. Pada masyarakat Jepang, upaya untuk menekan situasi kesesakan adalah dengan membangun rumah yang ilustratif, yang dindingnya dapat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, serta untuk mensejajarkan keadaannya dengan ruang dan wilayah yang tersedia. Pola ini memiliki beberapa kegunaan sesuai dengan kebutuhan sosial penghuninya, seperti makan, tidur dan rekreasi. Volume dan konfigurasi tata ruang adalah fleksibel, sehingga dapat diubah-ubah sesaui kebutuhan dalam upayanya untuk menekan perasaan sesak.
b. Faktor Sosial
Menurut Gifford (1987) secara personal individu dapat lebih banyak atau lebih sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah dimiliki. Akan tetapi pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah :
a) Kehadiran dan perilaku orang lain
b) Formasi koalisi
c) Kualitas hubungan
d) Informasi yang tersedia
c. Faktor fisik
Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.
Altman (1975), Bell dan kawan-kawan (1978), Gove dan Hughes (1983) menambahkan adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polus, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting. Faktor situasional tersebut antara lain :
a) Besarnya skala lingkungan
b) Variasi arsitektur
Rabu, 23 Februari 2011
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku individu, baik lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis, termasuk didalamnya adalah belajar. dan lingkungan juga bagian terpenting dan mendasar dari kehidupan manusia, Sejak dilahirkan manusia sudah berada dalam lingkungan baru dan asing baginya.
Dari lingkungan baru inilah sifat dan perilaku manusia terbentuk dengan sendirinya. Lingkungan yang baik akan membentuk pribadi yang baik, sementara lingkungan yang buruk akan membentuk sifat dan perilaku yang buruk pula.
berikut contoh pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia :
- seseorang yang bertempat tinggal di tempat yang bising bisa berpengaruh buat perilakunya kurang baik.
Dari penjelasan diatas, jelas bahwa lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku seseorang. Penjara juga salah satu contoh tempat yang bisa mengubah perilaku seseorang menjadi lebih baik.
Dimensi lingkungan bisa dibedakan menjadi tiga kelompok yakni lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan kultural. Ketiga dimensi ini akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku manusia.
Dari lingkungan baru inilah sifat dan perilaku manusia terbentuk dengan sendirinya. Lingkungan yang baik akan membentuk pribadi yang baik, sementara lingkungan yang buruk akan membentuk sifat dan perilaku yang buruk pula.
berikut contoh pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia :
- seseorang yang bertempat tinggal di tempat yang bising bisa berpengaruh buat perilakunya kurang baik.
Dari penjelasan diatas, jelas bahwa lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku seseorang. Penjara juga salah satu contoh tempat yang bisa mengubah perilaku seseorang menjadi lebih baik.
Dimensi lingkungan bisa dibedakan menjadi tiga kelompok yakni lingkungan fisik, lingkungan sosial dan lingkungan kultural. Ketiga dimensi ini akan memberikan pengaruh yang besar terhadap perilaku manusia.
Jumat, 04 Juni 2010
Gangguan Reseptif - Ekspresif
Gangguan Bahasa Reseptif- Ekspresif
Gangguan bahasa reseptif- ekspresif mengacu pada anak- anak yang memiliki kesulitan baik dalam memahami maupun memproduksi bahasa verbal. Mungkin saja terdapat kesulitan dalam memahami kata- kata atau kalimat- kalimat. Dalam beberapa kasus, anak memiliki kesulitan memahami tipe- tipe kata atau kalimat tertentu (seperti kata- kata yang mengekspresikan perbedaan kuantitas; large, big, atau huge), istilah- istilah spasial (sperti dekat atau jauh), atau tipe- tipe kaliamat (seperti kalimat yang dimulai dengan kata unlike). Kasus- kasus lain ditandai oleh kesulitan memahami kata- kata dan kalimat- kalimat sederhana.
Gangguan bahasa ekspresif melibatkan hendaya dalam penggunaan bahasa verbal seperti perkembangan kosakata yang lambat, kesalahn dalam tata bahasa, kesulitan mengingat kembali kata- kata, dan masalah dalam memproduksi kalimat dengan kerumitan dan panjang yang sesuai dengan usia individu, anak- anak dengan kesulitan ini dapat memiliki gangguan fonologis (artikulasi) yang menambahas masalah bicara mereka.
Gangguan bahasa reseptif- ekspresif mengacu pada anak- anak yang memiliki kesulitan baik dalam memahami maupun memproduksi bahasa verbal. Mungkin saja terdapat kesulitan dalam memahami kata- kata atau kalimat- kalimat. Dalam beberapa kasus, anak memiliki kesulitan memahami tipe- tipe kata atau kalimat tertentu (seperti kata- kata yang mengekspresikan perbedaan kuantitas; large, big, atau huge), istilah- istilah spasial (sperti dekat atau jauh), atau tipe- tipe kaliamat (seperti kalimat yang dimulai dengan kata unlike). Kasus- kasus lain ditandai oleh kesulitan memahami kata- kata dan kalimat- kalimat sederhana.
Gangguan bahasa ekspresif melibatkan hendaya dalam penggunaan bahasa verbal seperti perkembangan kosakata yang lambat, kesalahn dalam tata bahasa, kesulitan mengingat kembali kata- kata, dan masalah dalam memproduksi kalimat dengan kerumitan dan panjang yang sesuai dengan usia individu, anak- anak dengan kesulitan ini dapat memiliki gangguan fonologis (artikulasi) yang menambahas masalah bicara mereka.
Gangguan Reseptif
Gangguan Reseptif . .
Anak-anak yang mengalami gangguan ini mempunyai kesulitan mengartikan ucapan orang lain, terutama yang bersifat abstrak. Mereka sering salah mengartikan pertanyaan, komentar, atau cerita yang panjang. Kriteria diagnosis memerlukan intelegensi non-verbal yang normal.
Prognosis kurang baik dibandingkan gangguan berbahasa ekspretif. Pada masa sekolah mereka akan tertinggal oleh teman sebayanya. Karena komprehensi kurang baik, dapat muncul gangguan atensi. Kira-kira 40-60% akan mengalami gangguan fonologi, sedangkan 50% mengalami gangguan membaca. Masalah bahasa, dikombinasi dengan kesulitan membaca atau atensi akan menyebabkan kemampuan akademik yang kurang, rasa percaya diri yang rendah, motivasi yang rendah dan isolasi sosial.
Mereka akan dapat berbicara, tetapi terlambat dibandingkan anak sebayanya. Pada masa dewasa, kemampuan bicara cukup untuk komunikasi sehari-hari, tetapi mereka tetap menunjukan kesulitan bila harus mengartikan atau menceritakan suatu masalah yang kompleks.
Kriteria diagnostik gangguan bahasa reseptif/ekspresif campuran :
* Sulit untuk mengerti kata, kalimat, dan istilah ruang,
* Terganggu dalam akademik, pekerjaan dan komunikasi sosial,
* Tidak memenuhi kriteria untuk gangguan perkembangan pervasif,
* Jika terdapat MR, defisit motor bicara atau sensorik, kesulitan dalam pemusatan lingkungan, kesulitan bahasa yang akut.
gangguan bahasa reseptif berarti bahwa anak memiliki kesulitan dengan pemahaman apa yang dikatakan kepada mereka. Gejala bervariasi antara individu tetapi, secara umum, masalah dengan pemahaman bahasa biasanya dimulai sebelum usia empat tahun.
Anak-anak perlu memahami bahasa sebelum mereka dapat menggunakan bahasa secara efektif. Dalam kebanyakan kasus, anak dengan masalah bahasa reseptif juga memiliki gangguan bahasa ekspresif, yang berarti mereka mengalami kesulitan menggunakan bahasa lisan.
Penyebabnya adalah :
Penyebab gangguan bahasa reseptif seringkali tidak diketahui, tetapi diduga terdiri dari sejumlah faktor yang bekerja dalam kombinasi, seperti kerentanan genetik anak, eksposur anak untuk bahasa, dan pemikiran mereka perkembangan umum dan kognitif (dan pemahaman) kemampuan. gangguan bahasa reseptif yang sering dikaitkan dengan gangguan perkembangan seperti autisme. Dalam kasus lain, gangguan bahasa reseptif disebabkan oleh cedera otak seperti trauma, tumor atau penyakit.
Pengobatan
kemajuan si anak tergantung pada berbagai faktor individu, misalnya apakah cedera otak atau tidak hadir. Pilihan pengobatan dapat mencakup:
* Pidato bahasa terapi
* Satu-satu terapi serta terapi kelompok, tergantung pada kebutuhan anak
* Khusus pendidikan kelas di sekolah
* Integrasi dukungan di prasekolah atau sekolah dalam kasus-kasus kesulitan yang parah
* Arahan ke layanan kesehatan mental untuk perawatan (jika ada juga masalah perilaku yang signifikan).
Anak-anak yang mengalami gangguan ini mempunyai kesulitan mengartikan ucapan orang lain, terutama yang bersifat abstrak. Mereka sering salah mengartikan pertanyaan, komentar, atau cerita yang panjang. Kriteria diagnosis memerlukan intelegensi non-verbal yang normal.
Prognosis kurang baik dibandingkan gangguan berbahasa ekspretif. Pada masa sekolah mereka akan tertinggal oleh teman sebayanya. Karena komprehensi kurang baik, dapat muncul gangguan atensi. Kira-kira 40-60% akan mengalami gangguan fonologi, sedangkan 50% mengalami gangguan membaca. Masalah bahasa, dikombinasi dengan kesulitan membaca atau atensi akan menyebabkan kemampuan akademik yang kurang, rasa percaya diri yang rendah, motivasi yang rendah dan isolasi sosial.
Mereka akan dapat berbicara, tetapi terlambat dibandingkan anak sebayanya. Pada masa dewasa, kemampuan bicara cukup untuk komunikasi sehari-hari, tetapi mereka tetap menunjukan kesulitan bila harus mengartikan atau menceritakan suatu masalah yang kompleks.
Kriteria diagnostik gangguan bahasa reseptif/ekspresif campuran :
* Sulit untuk mengerti kata, kalimat, dan istilah ruang,
* Terganggu dalam akademik, pekerjaan dan komunikasi sosial,
* Tidak memenuhi kriteria untuk gangguan perkembangan pervasif,
* Jika terdapat MR, defisit motor bicara atau sensorik, kesulitan dalam pemusatan lingkungan, kesulitan bahasa yang akut.
gangguan bahasa reseptif berarti bahwa anak memiliki kesulitan dengan pemahaman apa yang dikatakan kepada mereka. Gejala bervariasi antara individu tetapi, secara umum, masalah dengan pemahaman bahasa biasanya dimulai sebelum usia empat tahun.
Anak-anak perlu memahami bahasa sebelum mereka dapat menggunakan bahasa secara efektif. Dalam kebanyakan kasus, anak dengan masalah bahasa reseptif juga memiliki gangguan bahasa ekspresif, yang berarti mereka mengalami kesulitan menggunakan bahasa lisan.
Penyebabnya adalah :
Penyebab gangguan bahasa reseptif seringkali tidak diketahui, tetapi diduga terdiri dari sejumlah faktor yang bekerja dalam kombinasi, seperti kerentanan genetik anak, eksposur anak untuk bahasa, dan pemikiran mereka perkembangan umum dan kognitif (dan pemahaman) kemampuan. gangguan bahasa reseptif yang sering dikaitkan dengan gangguan perkembangan seperti autisme. Dalam kasus lain, gangguan bahasa reseptif disebabkan oleh cedera otak seperti trauma, tumor atau penyakit.
Pengobatan
kemajuan si anak tergantung pada berbagai faktor individu, misalnya apakah cedera otak atau tidak hadir. Pilihan pengobatan dapat mencakup:
* Pidato bahasa terapi
* Satu-satu terapi serta terapi kelompok, tergantung pada kebutuhan anak
* Khusus pendidikan kelas di sekolah
* Integrasi dukungan di prasekolah atau sekolah dalam kasus-kasus kesulitan yang parah
* Arahan ke layanan kesehatan mental untuk perawatan (jika ada juga masalah perilaku yang signifikan).
Gangguan fonologis
PENGERTIAN GANGGUAN FONOLOGIS
Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah bahasa dan distribusinya.
Fonologi berbeda dengan fonetik. Fonetik mempelajari bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafazkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa.
Anak kita harus bisa belajar menggunakan dan mengucapkan bunyian dengan cara yang benar. Artinya bahwa bicara mempunyai kaitan dengan aspek fonologis ini. Bila seorang anak mengalami gangguan fonologis ini, maka kelak ia akan mengalami masalah dalam bahasa dan bicara. Di usia kira-kira lima bulan,refleks oral (mulut) seperti misalnya refleks menghisap (untuk menyusu) akan hilang, berganti dengan gerakan-gerakan yang baik dengan lidahnya, bibirnya, suara decak halus, rahang bawah, dan tenggorokan. Ia juga belajar membedakan bunyian dan mengingatnya sebagai bunyian tertentu. Apabila ia mendenger bunyian itu kembali, maka ia bisa mengenalnya kembali, serta menggunakannya untuk tujuan tertentu. Pada akhirnya kemudian ia bisa berbicara dengan tujuan tertentu: misalnya mengucapkan kata mama akan berbeda artinya jika mengucapkan maem atau makan. Pada akhir tahun pertama umumnya anak-anak mempelajari bunyian dengan pola bunyian yang sama. Pada akhir tahun kedua ia mulai bisa mengucapkan kata-kata berupa beberapa suku kata dengan baik karena kontrol otot-otot sudah semakin baik, yaitu otot lidah, bibir dan langit-langit. Dan juga ia sudah mampu mendengarkan dengan baik. Tinggal beberapa kata seperti s/l/r/ barulah akan dikuasai dengan baik di usianya yang kelima atau keenam.
Sekalipun seorang anak bisa mengucapkan bunyian dengan baik, bukan berarti ia akan bisa juga dengan baik mengucapkan kata-kata. Ia masih harus belajar lebih banyak lagi untuk mengucapkan kata-kata dengan baik, sehingga tidak meletakkan bunyian itu di tempat yang salah. Misalnya pabrik menjadi perabik. Lokomotip menjadi molokotip. Baru pada usia enam tahun, kita boleh mengharapkan bahwa seorang anak haruslah sudah bisa dengan baik mengucapkan
urutan bunyian itu dengan benar, menjadi sebuah kata yang mempunyai makna. Anak-anak yang bicaranya tak jelas atau sukar ditangkap dalam istilah psikologi / psikiatri disebut mengalami gangguan artikulasi atau fonologi. Namun gangguan ini wajar berlaku kerana tergolong gangguan perkembangan. Dengan bertambah umur, diharapkan gangguan ini boleh diatasi.
Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah bahasa dan distribusinya.
Fonologi berbeda dengan fonetik. Fonetik mempelajari bagaimana bunyi-bunyi fonem sebuah bahasa direalisasikan atau dilafazkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja organ tubuh manusia, terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa.
Anak kita harus bisa belajar menggunakan dan mengucapkan bunyian dengan cara yang benar. Artinya bahwa bicara mempunyai kaitan dengan aspek fonologis ini. Bila seorang anak mengalami gangguan fonologis ini, maka kelak ia akan mengalami masalah dalam bahasa dan bicara. Di usia kira-kira lima bulan,refleks oral (mulut) seperti misalnya refleks menghisap (untuk menyusu) akan hilang, berganti dengan gerakan-gerakan yang baik dengan lidahnya, bibirnya, suara decak halus, rahang bawah, dan tenggorokan. Ia juga belajar membedakan bunyian dan mengingatnya sebagai bunyian tertentu. Apabila ia mendenger bunyian itu kembali, maka ia bisa mengenalnya kembali, serta menggunakannya untuk tujuan tertentu. Pada akhirnya kemudian ia bisa berbicara dengan tujuan tertentu: misalnya mengucapkan kata mama akan berbeda artinya jika mengucapkan maem atau makan. Pada akhir tahun pertama umumnya anak-anak mempelajari bunyian dengan pola bunyian yang sama. Pada akhir tahun kedua ia mulai bisa mengucapkan kata-kata berupa beberapa suku kata dengan baik karena kontrol otot-otot sudah semakin baik, yaitu otot lidah, bibir dan langit-langit. Dan juga ia sudah mampu mendengarkan dengan baik. Tinggal beberapa kata seperti s/l/r/ barulah akan dikuasai dengan baik di usianya yang kelima atau keenam.
Sekalipun seorang anak bisa mengucapkan bunyian dengan baik, bukan berarti ia akan bisa juga dengan baik mengucapkan kata-kata. Ia masih harus belajar lebih banyak lagi untuk mengucapkan kata-kata dengan baik, sehingga tidak meletakkan bunyian itu di tempat yang salah. Misalnya pabrik menjadi perabik. Lokomotip menjadi molokotip. Baru pada usia enam tahun, kita boleh mengharapkan bahwa seorang anak haruslah sudah bisa dengan baik mengucapkan
urutan bunyian itu dengan benar, menjadi sebuah kata yang mempunyai makna. Anak-anak yang bicaranya tak jelas atau sukar ditangkap dalam istilah psikologi / psikiatri disebut mengalami gangguan artikulasi atau fonologi. Namun gangguan ini wajar berlaku kerana tergolong gangguan perkembangan. Dengan bertambah umur, diharapkan gangguan ini boleh diatasi.
Langganan:
Postingan (Atom)